Baru Dilantik Sudah Blunder, Menkeu Purbaya Diingatkan Jaga Sikap dan Komunikasi Publik

Jakarta:target tipikor news.com

Kamis,11 September 2025

Baru sehari menjabat, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa langsung menuai sorotan publik. Pernyataannya terkait 17+8 Tuntutan Rakyat dalam aksi demonstrasi akhir Agustus 2025 dianggap tidak empatik dan meremehkan pergerakan maupun suara rakyat, mahasiswa dan pekerja ojek online.

Dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Senin (8/9/2025), Purbaya menyebut bahwa aspirasi itu bukanlah representasi seluruh masyarakat, melainkan hanya segelintir warga yang merasa “terganggu” dengan kondisi ekonomi. “Itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Mungkin sebagian ngerasa keganggu, hidupnya masih kurang,” ucapnya.

Ucapan tersebut langsung memicu kritik dari berbagai kalangan, termasuk aktivis dan masyarakat sipil. Sehari kemudian, saat acara serah terima jabatan di Kemenkeu, Purbaya buru-buru menyampaikan permintaan maaf. “Kemarin kalau ada kesalahan saya mohon maaf, ke depan akan lebih baik lagi,” katanya, Selasa (9/9).

Namun, permintaan maaf itu tidak serta-merta meredam kritik. Aktivis yang juga founder PILAR, Hotman Samosir, menilai ucapan Menkeu menunjukkan kurangnya kepekaan dan buruknya komunikasi publik seorang pejabat publik. Menurutnya, rakyat menunggu bukti nyata, bukan sekadar retorika yang memantik diskursus negatif dari publik.

“Tidak absolut, tetapi umumnya, jika seseorang tidak bisa mengendalikan mulutnya, ia juga tidak bisa mengendalikan otaknya, lalu hatinya, lalu akhlaknya,” ujar aktivis Hotman dalam pernyataannya, Selasa (9/9).

Aktivis Hotman menekankan bahwa pejabat publik seharusnya bekerja lebih banyak daripada berbicara. “Rakyat membutuhkan pembuktian, bukan jumawa dan omon-omon. Biasanya, orang yang banyak omong itu justru menyimpan banyak kekurangan. Ironisnya, pejabat publik di Indonesia kerja belum, tetapi sudah koar-koar, jumawa, dan gaya selangit,” tegasnya.

Hotman juga mengingatkan, publik berharap waktu pejabat publik tidak habis hanya untuk klarifikasi dan permintaan maaf. Menurutnya, hal tersebut justru menciptakan kesan ketidakmampuan mengendalikan diri dan mengelola komunikasi publik yang sehat.

Lebih jauh, Hotman Samosir menyinggung bahwa posisi Purbaya sebagai Menkeu tidak bisa dilepaskan dari momentum aksi rakyat dan mahasiswa pada akhir Agustus lalu. “Dia (mungkin) tidak akan berada di posisinya sekarang kalau bukan karena aksi rakyat yang ia sebut hanya sebagian kecil itu,” katanya.

Dalam situasi tanpa oposisi di parlemen, lanjut aktivis Hotman, rakyat secara tidak langsung menjadi oposisi tunggal yang mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, setiap pejabat publik harus ekstra hati-hati dalam sikap dan pernyataan, sebab rakyat kini memainkan peran pengawasan secara langsung.

“Seseorang yang mabuk kekuasaan akan jatuh sisi kemanusiaannya. Saat ia mabuk kekuasaan, ia lupa diri dan tak dapat mengendalikan diri. Emosi kemudian mengalahkan kecerdasan dan kebijaksanaan,” tambah aktivis Hotman Samosir.

Pengamat menilai blunder awal Purbaya menjadi peringatan serius bagi kabinet baru. Di era keterbukaan informasi, salah ucap pejabat publik bisa langsung memicu kritik keras dan krisis kepercayaan. Komunikasi yang buruk hanya akan memperburuk jarak antara pemerintah dan rakyat, apalagi di tengah kondisi sosial-ekonomi yang sulit, dan penegakan hukum yang timpang.

Ke depan, Menkeu Purbaya dituntut membuktikan kapabilitasnya lewat kerja nyata; stabilitas fiskal, pengendalian inflasi, dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, bukan berpihak kepada pejabat-pejabat dan elite pengusaha. Bukan pula sekadar klarifikasi dan permintaan maaf yang terus-menerus.

( RS   )

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *